Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Asal Usul Aksara Jawa dalam Bahasa Jawa dan Penggunaannya

Aksara Jawa dalam Bahasa Jawa

Aksara Jawa, yang juga dikenal dengan nama Hanacaraka, merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang masih digunakan hingga saat ini. Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Hingga kini, aksara Jawa tetap diajarkan di berbagai sekolah sebagai bagian dari pelajaran bahasa daerah. Untuk memahami lebih jauh, mari kita lihat asal usul aksara Jawa dan bagaimana penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Asal Usul Aksara Jawa dalam Bahasa Jawa

Sejarah aksara Jawa berkaitan erat dengan kisah seorang pengembara bernama Aji Saka. Berdasarkan cerita yang ditulis dalam Lemuria Adlantis Nusantara, Aji Saka bersama dua abdinya, Sembada dan Dora, datang dari tanah di atas angin menuju Tanah Jawa. Setibanya di sana, mereka bertemu dengan raja yang sangat dzalim bernama Dewatacengkar.

Aji Saka terlibat dalam sebuah pertikaian dengan Raja Dewatacengkar. Setelah melalui serangkaian pertempuran, Aji Saka akhirnya berhasil mengalahkan sang raja berkat ikat kepalanya yang dapat melebar dan memanjang. Aji Saka melempar Dewatacengkar ke laut, yang kemudian berubah menjadi buaya putih dan akhirnya meninggal.

Kemenangan tersebut membuat Aji Saka menjadi raja di Medangkamulan. Sebagai seorang raja, ia memiliki sebuah pusaka yang sangat penting, yang harus disimpan di tempat tersembunyi. Untuk itu, Aji Saka menginstruksikan Sembada untuk menjaga peti pusaka tersebut di Pulau Majeti. Namun, Aji Saka memberikan pesan bahwa peti itu hanya boleh diberikan kepada dirinya, dan tidak boleh diberikan kepada siapapun.

Suatu waktu, Aji Saka mengutus Dora untuk mengambil pusaka tersebut, namun Sembada menolak memberikan peti itu karena ia memegang teguh pesan sang raja. Ketegangan ini menyebabkan pertikaian antara kedua abdi tersebut, yang berujung pada kematian keduanya. Peristiwa ini meninggalkan penyesalan yang mendalam bagi Aji Saka.

Aji Saka mengekspresikan perasaan penyesalannya dengan sebuah kalimat yang terkenal dalam sejarah aksara Jawa, yakni:

  • Ha-Na-Ca-Ra-Ka (Ada utusan)
  • Da-Ta-Sa-Wa-La (Saling berselisih pendapat)
  • Pa-Dha-Ja-Ya-Nya (Sama-sama sakti)
  • Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (Sama-sama menjadi mayat)

Kalimat ini kemudian menjadi simbol dari asal usul aksara Jawa yang dikenal dengan sebutan “Hanacaraka.”

Penggunaan Aksara Jawa

Aksara Jawa memiliki 20 huruf dasar yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa, dengan tambahan vokal a. Pada saat menyusun kalimat, terkadang huruf vokal a perlu dihilangkan. Untuk tujuan ini, aksara Jawa memanfaatkan pasangan huruf yang disebut pasangan aksara atau sandhangan.

Aksara Jawa berjumlah 20, dan pasangannya juga berjumlah 20. Pasangan aksara ini biasanya digunakan untuk menghilangkan vokal di tengah atau akhir kata. Namun, dalam penulisan bahasa Jawa, aturan yang berlaku adalah pasangan aksara tidak boleh digunakan di awal kalimat atau kata.

Aksara Jawa memiliki aturan yang sangat ketat dalam penulisannya. Pasangan aksara hanya boleh ditempatkan di posisi tertentu, sehingga penggunaannya sangat spesifik. Hal ini menjadikan aksara Jawa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai bentuk seni dalam penulisannya.

Kesimpulan

Aksara Jawa adalah bagian penting dari budaya Nusantara yang tetap dipertahankan hingga kini. Asal usul aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita Aji Saka dan pengabdiannya menggambarkan betapa dalamnya makna yang terkandung dalam setiap aksaranya. Dengan penggunaannya yang tetap relevan hingga saat ini, aksara Jawa terus diajarkan di berbagai lembaga pendidikan untuk menjaga kelestariannya.